Beranda | Artikel
Apakah Darah Termasuk Najis?
Sabtu, 21 Desember 2019

Apakah darah termasuk najis ataukah bukan? Simak bahasan berikut ini.

Pendahuluan

Islam datang membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Semua yang diperintahkan dan dibolehkan dalam Islam, pasti karena membawa maslahat untuk umat manusia, baik 100% maslahat atau maslahatnya lebih besar. Dan semua yang dilarang dalam Islam, pasti karena memudaratkan manusia, baik karena 100% mudarat atau mudaratnya lebih besar. Diantara sempurnanya syariat Islam, kita diperintahkan untuk menjauhkan diri dari najis dan membersihkan diri kita dari najis. Agar kita menjadi manusia yang bersih dan sempurna. Ini demi kemaslahatan kita.

Diantara masalah yang dibahas para ulama dalam bab najis, adalah mengenai status kenajisan darah. Apakah darah termasuk najis ataukah bukan? Simak bahasan berikut ini.

Dalil-Dalil Seputar Kenajisan Darah

Beberapa dalil menunjukkan kenajisan darah, diantaranya firman Allah ta’ala:

قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu adalah rijs” (QS. Al An’am: 145).

Ath Thabari menjelaskan makna rijsun dalam ayat ini:

الرجس : النجس والنتن

Ar rijsu artinya najis dan kotor” (Jami’ul Bayan, 8/53).

Maka ayat ini menyatakan bahwa bangkai, darah yang mengalir dan daging bagi semuanya adalah najis.

Kemudian, dalil yang digunakan sebagian ulama untuk menyatakan kenajisan darah adalah hadits dari Abu Bakar ash Shiddiq radhiallahu’anhu:

جَاءَت امرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَت : إِحدَانَا يُصِيبُ ثَوبَهَا مِن دَمِ الحَيضَةِ كَيفَ تَصنَعُ بِهِ ؟ قَالَ : تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقرُصُهُ بِالمَاءِ ثُمَّ تَنضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ

“Darang seorang wanita kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ia berkata: salah seorang di antara kami pakaiannya terkena darah haid, apa yang perlu dilakukan? Nabi bersabda: hendaknya kamu kerik dan sikat dengan menggunakan air kemudian bilas, barulah setelah itu silakan gunakan untuk shalat” (HR. Al Bukhari no.277 dan Muslim no.291).

Al Imam An Nawawi membawakan hadits ini dalam Syarah Shahih Muslim dalam bab:

باب نجاسة الدم وكيفية غسله

“Bab najisnya darah dan cara membersihkannya”.

Baca Juga: Perbedaan Najasah, Hadats, Nawaqidhul Wudhu, dan Qadzarah

Apakah Darah Termasuk Najis?

Bahasan mengenai status kenajisan darah perlu dirinci berdasarkan jenisnya:

  1. Hewan yang najis ketika hidup atau mati

Darah hewan seperti ini statusnya najis. Yaitu hewan anjing dan babi. Di surat Al An’am ayat 145 di atas, disebutkan kenajisan babi. Adapun kenajisan anjing, disebutkan dalam hadits:

طَهُورُ إناءِ أحَدِكُمْ إذا ولَغَ فيه الكَلْبُ، أنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاهُنَّ بالتُّرابِ

“Cara membersihkan bejana kalian yang dijilat anjing adalah mencucinya sebanyak 7 kali, salah sautnya dengan tanah” (HR. Muslim no. 279).

Sebagian ulama, diantaranya ulama Syafi’iyyah, mengqiyaskan seluruh tubuh anjing dengan air liurnya. Sehingga seluruh tubuhnya merupakan najis. Jika seluruh tubuh babi dan anjing najis, maka termasuk juga darahnya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

الدم الخارج من حيوان نجسٍ، نجسٌ قليله وكثيرهُ، ومثالُه: الدم الخارج من الخنزير أو الكلب فهذا نجس قليله وكثيره بدون تفصيل سواء خرج منه حياً أم ميتاً

“Darah yang keluar dari hewan yang najis, maka ia najis baik sedikit atau banyak. Contohnya darah babi atau anjing. Maka ia najis baik sedikit atau banyak tanpa perlu dirinci. Baik keluar dalam keadaan masih hidup atau sudah mati” (Majmu’ Fatawa war Rasail, jilid 11 bab “pembatal-pembatal wudhu”).

  1. Bangkai hewan yang suci ketika hidupnya saja

Hewan yang suci ketika masih hidup, namun ketika mati ia menjadi bangkai, maka status darahnya najis ketika masih hidup, namun ditoleransi jika sedikit jumlahnya.

Adapun ketika sudah mati maka status darahnya najis karena termasuk bangkai juga. Sedangkan bangkai najis, sebagaimana di surat Al An’am ayat 145 di atas. Contohnya ayam tidak disembelih, maka status ayam yang mati tersebut adalah bangkai dan darahnya najis.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

الدم الخارج من حيوان طاهر في الحياة، نجس بعد الموت فهذا إذا كان في حال الحياة فهو نجس، لكن يُعفى عن يسيره، مثال ذلك: الغنم والإبل فهي طاهرة في الحياة نجسة بعد الموت

“Darah yang keluar dari hewan yang suci ketika masih hidup, namun ia menjadi najis setelah mati, maka dalam keadaan hidupnya darah najis namun ditoleransi jika hanya sedikit. Contohnya darah kambing, unta, maka ia suci ketika masih hidup. Namun najis ketika sudah mati” (Majmu’ Fatawa war Rasail, jilid 11 bab “pembatal-pembatal wudhu”).

  1. Bangkai hewan yang suci ketika hidup dan matinya

Yaitu hewan-hewan laut. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya:

يا رسولَ اللهِ ، إنَّا نركبُ البحرَ ونحملُ معنا القليلَ من الماءِ ، فإن توضأنا بهِ عطشنا ، أفنتوضأُ بماءِ البحرِ ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : هو الطَّهُورُ ماؤُهُ ، الحِلُّ ميتتُهُ

“Wahai Rasulullah, kami mengarungi laut dengan perahu dan kami hanya membawa air sedikit. Jika kami gunakan untuk berwudhu, maka kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: air laut itu suci, dan bangkai hewan laut itu halal” (HR. Abu Daud no. 83, At Tirmidzi no. 69, Ibnu Majah no.386, dishahihkan Al Bukhari dalan ‘Aridhatul Ahwadzi [1/91]).

Hadits ini menunjukkan bahwa hewan laut hukum asalnya halal dan suci, termasuk juga darahnya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

الدم الخارج من حيوان طاهر في الحياة وبعد الموت وهذا طاهر

“Darah yang keluar dari hewan yang suci ketika hidup dan matinya, maka darahnya juga suci” (Majmu’ Fatawa war Rasail, jilid 11 bab “pembatal-pembatal wudhu”).

  1. Darah haid

Hadits Abu Bakar di atas menunjukkan dengan sangat jelas tentang najisnya darah haid. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk mencucinya dengan sungguh-sungguh. Dalil yang lain, hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:

جاءت فاطمةُ ابنة أبي حُبيشٍ إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فقالت: يا رسولَ الله، إنِّي امرأةٌ أُستحاضُ فلا أطهُرُ؛ أَفأدَعُ الصَّلاةَ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: لا، إنَّما ذلك عِرقٌ وليس بحَيضٍ، فإذا أقبلتْ حيضتُك فدَعِي الصَّلاةَ، وإذا أدبَرَتْ فاغسلِي عنك الدَّمَ، ثمَّ صلِّي

“Fathimah bintu Abi Hubaisy datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ia berkata: wahai Rasulullah, aku wanita yang terus-menerus haid dan tidak berhenti, apakah aku terus meninggalkan shalat? Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: tidak demikian, itu adalah flek, bukan darah haid. Jika haid datang maka tinggalkanlah shalat, namun jika haid sudah pergi maka cucilah darah haid (pada pakaianmu) kemudian shalatlah” (HR. Bukhari no. 228, Muslim no. 333).

Al Qarrafi rahimahullah berkata:

دمُ الحَيضِ، وهو نجِسٌ إجماعًا

“Darah haid adalah najis berdasarkan ijma” (Adz Dzakhirah, 1/185).

Baca Juga: Cara Membersihkan Najis

Apakah Darah Manusia Najis?

Permasalahan mengenai kenajisan darah manusia adalah masalah yang cukup pelik, karena di satu sisi ada ijma’ ulama dan di sisi lain ada dalil-dalil yang menunjukkan tidak najisnya darah. Maka secara umum, dalam hal ini ulama terbagi menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama

Darah manusia itu najis. Sebagaimana dalil-dalil yang kami sebutkan di atas. Dan banyak ulama yang menukil ijma akan hal ini.

Ibnul Arabi mengatakan:

اتفق العلماء على أن الدم حرام لا يؤكل نجس

“Ulama sepakat bahwa darah itu haram, tidak boleh dimakan dan najis” (Hasyiyah ar Ruhuni, 1/73).

Al Qurthubi mengatakan:

اتفق العلماء على أن الدم حرام نجس

“Ulama sepakat bahwa darah itu haram dan najis” (Tafsir Al Qurthubi, 2/222).

An Nawawi mengatakan:

وفيه أن الدم نجس وهو بإجماع المسلمين

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa darah itu najis dan ini adalah ijma ulama kaum Muslimin” (Syarah Shahih Muslim, 3/200).

Ibnu Hajar mengatakan:

والدم نجس اتفاقاً

“Darah itu najis secara sepakat ulama” (Fathul Baari, 1/352).

Imam Ahmad ketika ditanya:

القيح والدَّم عندك سواء؟ فقال: الدَّمُ لم يختلِفِ النَّاس فيه، والقَيحُ قد اختَلف النَّاس فيه

“Apakah muntahan dan darah itu sama menurutmu? Beliau menjawab: darah tidak diperselisihkan oleh ulama. Sedangkan muntahan itu diperselisihkan oleh ulama” (Syarhul Umdah, 1/1/05).

Demikian juga terdapat nukilan ijma dari Ibnu Abdil Barr (at Tamhid, 22/230), Ibnu Rusyd (Bidayatul Mujtahid, 1/83) dan Ibnu Hazm (Maratibul Ijma, 1/19). Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.

Walaupun ulama yang berpendapat bahwa darah adalah najis, sebagiannya memberikan toleransi pada darah yang sedikit dan memberikan toleransi pada darah syuhada.

Pendapat ke dua

Darah manusia itu suci. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Asy Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, Al Albani dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.

Asy Syaukani menjelaskan kelirunya pendalilan dengan ayat di atas untuk menyatakan najisnya darah:

ولو قام الدليل على رجوع الضمير في قوله تعالى : ( فَإِنَّهُ رِجْسٌ ) إلى جميع ما تقدم في الآية الكريمة من الميتة والدم المسفوح ولحم الخنزير ، لكان ذلك مفيدا لنجاسة الدم المسفوح ، ولكنه لم يَرد ما يفيد ذلك ، بل النزاع كائن في رجوعه إلى الكل ، أو إلى الأقرب ، والظاهر رجوعه إلى الأقرب وهو لحم الخنزير ؛ لإفراد الضمير

“Andaikan ada dalil yang menunjukkan bahwa dhamir ‘hu’ dalam firman Allah فَإِنَّهُ رِجْسٌ kembali kepada semua yang disebutkan dalam tersebut yaitu bangkai, darah yang mengucur keluar dan daging babi, maka dalil tersebut akan memberikan kesimpulan bahwa darah adalah najis. Namun tidak ada dalil yang menyimpulkan hal itu. Bahkan terdapat perselisihan di antara para ulama tentang apakah dhamir ‘hu’ kembali kepada tiga hal tadi ataukah kembali pada yang terdekat? Yang nampaknya lebih kuat, dhamir ‘hu’ kembali pada yang terdekat yaitu daging babi. Karena dhamir dalam bentuk mufrad” (ad Darari al Mudhiyyah, 1/32).

Kemudian diantara dalil kuat yang digunakan ulama yang mengatakan tidak najisnya darah, adalah perkataan Al Hasan Al Bashri rahimahullah:

ما زال المسلمونَ يُصَلُّونَ في جِرَاحاتِهِم

“dahulu kaum Muslimin (para sahabat) biasa shalat dalam keadaan luka-luka” (HR. Al Bukhari dalam Shahih-nya secara mu’allaq, dishahihkan Al Albani dalam Tamamul Minnah hal. 50).

Andaikan darah itu najis tentu tidak sah shalat dalam keadaan najis menempel di badan orang yang shalat.

Juga riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu, dari Bakr bin Abdillah Al Muzanni, ia mengatakan:

رأيت ابن عمر عصر بثرة في وجهه، فخرج شيء من دمه، فحكه بين أصبعيه، ثم صلى ولم يتوضأ

“Aku melihat Ibnu Umar memencet jerawat di wajahnya, kemudian keluar sedikit darah. Kemudian beliau usap dengan jari-jarinya. Dan beliau shalat tanpa berwudhu lagi” (HR. Al Baihaqi [1/141] dalam Sunan-nya, dishahihkan Al Albani dalam Haqiqatus Shiyam hal. 18).

Juga riwayat dari Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu’anhu, dari Atha bin Saib ia berkata:

رأيت عبد الله بن أبي أوفى بزق دماً ثم قام فصلى

“Aku melihat Abdullah bin Abi Aufa meludah darah, kemudian beliau berdiri dan shalat” (HR. Abdur Razzaq dalam Mushannaf-nya [1/148], sanadnya hasan).

Demikian juga mereka berdalil dengan dibolehkannya seorang suami berjima’ dengan istrinya yang sedang istihadhah, dalam keadaan darah terus mengalir. Berdasarkan ayat:

فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ

“Jauhilah wanita ketika mereka haid” (QS. Al Baqarah: 222).

Ayat ini menunjukkan wanita yang dilarang untuk digauli adalah wanita yang haid, maka mafhumnya wanita yang istihadhah boleh digauli. Padahal wanita istihadhah terkadang keluar darah yang deras.

Mereka juga mengatakan bahwa bangkai (mayat) manusia itu suci, sehingga darahnya suci. Syaikh Ibnu Al Utsaimin rahimahullah mengatakan:

ولهذا كان القول الراجح أن دم الإنسان الذي لا يخرج من القبل أو الدبر طاهر، لا يجب غسله ولا التنزه منه إلا على سبيل النظافة  ودم الإنسان طاهر؛ لأن ميتته طاهرة, إلا ما خرج من السبيلين القبل أو الدبر- فإن الحديث دل على أنه نجس

“Oleh karena itu pendapat yang rajih adalah darah manusia itu suci selain yang keluar dari qubul atau dubur. Tidak wajib dicuci atau dibersihkan, kecuali dalam rangka untuk menjaga kebersihan saja. Dan (alasan lain) darah manusia itu suci, karena bangkai manusia itu suci. Kecuali jika keluar darah dari dua jalan, dari qubul atau dubur, karena hadits menunjukkan darah yang demikian itu najis” (Liqa Babil Maftuh).

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ المؤمنَ لا ينجسُ

“Sesungguhnya seorang Mukmin tidak menajisi” (HR. Bukhari no. 285, Muslim no. 371).

Dan ulama yang berpegang pada pendapat ini, menganggap ijma yang ada telah gugur karena adanya khilaf yang dinukil dari para sahabat Nabi. Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan:

وجملة القول: أنَّه لم يَرِد دليل فيما نعلم على نجاسة الدم على اختلاف أنواعه؛ إلا دم الحيض، ودعوى الاتفاق على نجاسته منقوضة بما سبق من النقول، والأصل الطهارة، فلا يُتْرَك إلاَّ بنص صحيح يجوز به ترْك الأصل، وإِذ لم يَرِدْ شيء من ذلك؛ فالبقاء على الأصل هو الواجب، والله أعلم

“Kesimpulannya, tidak terdapat dalil sedikitpun, sepengetahuan kami, yang menunjukkan najisnya darah dengan berbagai macamnya. Kecuali darah haid. Dan klaim ijma dalam masalah najisnya darah itu gugur dengan adanya nukilan-nukilan di atas. Dan hukum asal benda adalah suci, tidak bisa ditinggalkan status sucinya kecuali dengan nash yang shahih yang membolehkan untuk meninggalkan hukum asal. Jika tidak ada nash yang demikian, maka yang lebih tepat adalah tetap berpegang pada hukum asal. Wallahu a’lam” (Silsilah Ash Shahihah, no. 301).

Kesimpulan

Pendapat yang lebih menenangkan hati kami adalah yang mengatakan darah itu suci bukan najis karena kuatnya dalil-dalil yang mendasarinya. Dan sebagaimana penjelasan Syaikh Al Albani di atas, bahwa semua darah baik darah manusia atau darah lainnya, hukum asalnya suci kecuali:

  • darah haid
  • darah hewan yang najis ketika masih hidup ataupun mati, seperti darah babi.
  • darah hewan yang najis ketika jadi bangkai, seperti darah bangkai ayam, darah bangkai kambing, dll

Tiga darah di atas statusnya najis.

Dan ijma yang ternukil dalam masalah ini gugur dengan adanya dalil-dalil tersebut. Jika ada yang bertanya: “apakah ada ulama sebelum asy Syaukani yang berpendapat tidak najisnya darah?”. Maka kita jawab, adanya nukilan dari para sahabat bahwa mereka tidak menganggap najis menunjukkan adanya pendapat yang tidak menajiskan darah jauh sebelum asy Syaukani. Wallahu a’lam.

Namun karena banyaknya nukilan ijma dari para ulama besar akan najisnya darah, maka hendaknya tidak bermudah-mudahan dalam masalah darah. Tetap berusaha membersihkan darah jika terkena, sebagai bentuk kehati-hatian.

Dan masalah ini, wallahu a’lam, adalah masalah khilafiyah ijtihadiyah yang dituntut untuk saling toleransi terhadap orang yang berseberangan pendapat.

Wabillahi at taufiq was sadaad.

Baca Juga:

Penulis: Yulian Purnama


Artikel asli: https://muslim.or.id/53490-apakah-darah-termasuk-najis.html